MTBS ( MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT)

Selasa, 31 Mei 2011


Latar belakang: Setiap tahun lebih dari 12 juta anak di negara berkembang meninggal sebelum ulang tahunnya yang kelima, dan 70% dari kematian-kematian tersebut disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria dan campak dan gizi buruk. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah strategi untuk menurunkan kematian balita dengan pendekatan terpadu yang melibatkan pencegahan, promotif dan pengobatan. Isu sustainibilitas program MTBS menjadi penting oleh karena begitu banyak kendala dalam penerapan MTBS. 
Tujuan: Mengetahui bagaimana praktik MTBS di puskesmas dengan dukungan manajemen Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut dan mengapa puskesmas masih bisa menjaga kelangsungan penerapan MTBS.
Metode: Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Pengamatan langsung untuk mengetahui alur pelayanan dan keterpaduan pelayanan. Kepatuhan petugas dinilai dengan membandingkan dengan cheklis berdasar buku bagan MTBS. Wawancara dan diskusi kelompok terfokus (DKT) serta mencari dokumen pendukung dilaksanakan untuk melihat dukungan manajemen dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut terhadap praktik MTBS.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan beberapa usaha nyata dalam upaya mengintegrasikan pelayanan anak. Logistik form pencatatan dan pelaporan serta pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan membantu implementasi kegiatan ini. Dalam praktiknya, MTBS sudah melibatkan tim yang dikelola oleh seorang case manager. Proses pengobatan, promosi dan pencegahan telah dilakukan dalam situasi ruang yang memungkinkan terjadi koordinasi. Kepatuhan terhadap standar MTBS telah mencapat 67 persen dari item yang seharusnya dilaksanakan. Case manager MTBS dilakukan oleh bidan dan petugas yang mendapat pelatihan. Meskipun demikian, puskesmas baru memiliki struktur sementara yang belum memiliki kewenangan mengelola sumber-sumber untuk mengatasi masalah dalam implementasi. 
Kesimpulan dan Saran: Penelitian ini membuktikan bahwa puskesmas memiliki semangat untuk mengimplementasi program inovasi. Yang baru mereka bisa kerjakan adalah membuat contoh case management dari sisi ruangan, alur pelayanan, serta pencatatan dan laporan. Dinas Kesehatan baru mampu mengembangkan program MTBS sebatas penyelenggaraan pelatihan dan mendorong puskesmas untuk memulai. Ini pun dilakukan sebatas meneruskan program dari pusat dan WHO. fungsi case manager yang didukung oleh manajemen puskesmas. Pengembangan program ini di tingkat puskesmas menuntut adanya otonomi puskesmas yang lebih luas sehingga mereka dapat mencari strategi dari lapangan yang bisa cocok dengan kebutuhan pemecahan masalah dalam implementasinya. 

Kata kunci: praktik MTBS, puskesmas, dukungan manajemen, Tanah Laut.
-----------
¹ Mahasiswa Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM
² Dosen Magister Sistem Informasi Manajemen Kesehatan UGM
³ Dosen Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM 




EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF INTEGRATED MANAGEMENT 
OF CHILDHOOD ILLNESS AT THE HEALTH CENTER OF TANAH LAUT DISTRICT, PROVINCE OF KALIMANTAN SELATAN

EVALUASI PELAKSANAAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) 
DI PUSKESMAS KABUPATEN TANAH LAUT PROPINSI KALIMANTAN SELATAN 


Hari Pratono1, Lutfan Lazuardi2, Mubasysyir Hasanbasri3

ABSTRACT

Background: Every year more than 12 millions children in developing countries die before their fifth birthday, and 70% of their death is caused by pneumonia, diarrhea, malaria, measles and malnutrition. Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) is a strategy to minimize infant mortality through integrated approach which includes prevention, promotion and medication. The issue of IMCI program sustainability becomes important because there are so many constraints in the implementation of IMCI.

Objective: To identify the practice of IMCI at the health center with the support of the management of the Health Office at District of Tanah Laut and find out how the health center maintained the sustainability of IMCI implementation.

Method: This was a descriptive study with a case study approach. Direct observation was conducted to learn the service procedure and service integration. Staff's compliance was assessed by comparing checklist based on IMCI flowchart. Interview, focus group discussion and supporting documents were used to see managerial support of the Health Office to the practice of IMCI.

Result: There were some actual efforts of integrating child health services. Logistic forms of recording and reporting as well as training carried out by the health office supported the implementation of activities. In practice IMCI had involved team managed by a case manager. The process of medication, promotion and prevention had been carried out under the situation which enabled coordination. Compliance with IMCI recording and reporting system reached 67% out of all items which should be implemented. Case managers of IMCI were midwives and staff in charge of training. However, the health center still had temporary organizational structure which did not have authority to manage resources needed to overcome problems of implementation. 

Conclusion and Suggestion: The health center had morale to implement innovative programs. For the time being they could make samples of case management from aspects of room, service flow, recording and reporting. The health office was just able to develop IMCI program in training and supporting the health center to start IMCI. This was limited to just continuing the national and WHO program. The function of case manager was supported by the health center management. The development of IMCI program required wider autonomy of the health center in order that the health center could develop strategies relevant with needs and solution to problems in implementation. 

Keywords: integrated management of childhood illness, managerial support, Tanah Laut 

1. Health Office, District of Tanah Laut 
2. Magister, Management of Health Information System, Gadjah Mada University 
3. Magister Health Policy and Service Management, Gadjah Mada University 


PENDAHULUAN
Isi :
A. Pengantar
B. Status Kesehatan Kabupaten Tanah Laut
C. Sejarah MTBS 
D. Perkembangan dari MTBS
E. Implementasi Awal
F. Evaluasi MTBS
G. Fase Ekspansi














PENDAHULUAN
A. Pengantar 
Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan yang menerapkan MTBS pada saat ujicoba implementasi MTBS yang diselenggarakan oleh Proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi pada 2001. Dimulai dengan empat puskesmas ujicoba yang memulai pada akhir tahun 2001, Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut mengupayakan memperluas jangkauannya dengan melatih petugas kesehatan ke 10 puskesmas lain yang belum tersentuh MTBS. Namun seiring berjalannya waktu ternyata implementasi MTBS ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Dalam 2 tahun terakhir hanya ada 3 puskesmas yang secara rutin menangani pasien balitas sakit dengan metode MTBS. Dalam makalah ini penulis ingin mendalami permasalahan yang berkenaan dengan proses praktik MTBS di puskesmas dan mengetahui bagaimanakah dukungan manajemen dari Dinkes terhadap implementasi MTBS. 

B. Status Kesehatan
Jumlah penduduk di Kabupaten Tanah Laut berjumlah 249.422 jiwa yang kebanyakan tinggal di pedesaan (1), dan angka kematian anak di bawah umur lima tahun (AKB) adalah 48 per 1000 kelahiran hidup, angka harapan hidup 67,6 tahun dan angka pertumbuhan 5%(2). Tidak ada data untuk penyebab kematian pada balita, namun biasanya penyebabnya adalah pneumonia, diare, malaria , demam berdarah. Sebanyak 63 % balita telah diimunisasi lengkap. Persalinan yang ditangani oleh petugas kesehatan sebesar 77% (1). 
C. Sejarah MTBS
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu pendekatan yang digagas oleh WHO dan UNICEF untuk menyiapkan petugas kesehatan melakukan penilaian, membuat klasifikasi serta memberikan tindakan kepada anak terhadap penyakit-penyakit yang umumnya mengancam jiwa(3). Tiga komponen dari MTBS ditujukan untuk meningkatkan ketrampilan petugas; memperkuat sistem kesehatan serta meningkatkan kemampuan perawatan di rumah oleh keluarga dan masyarakat. MTBS diperkenalkan pertama kali pada 1999( 4).
Pada tahun 2001, dengan dukungan Bank Pembangunan Asia (ADB), melalui Proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi telah mencoba mengimplementasikan MTBS di Kabupaten Tanah Laut dengan mengambil 4 puskesmas ujicoba, yaitu Pelaihari, Takisung, Kurau dan Kintap. Adapun Kabupaten Tanah Laut adalah terletak di ujung selatan dari Propinsi Kalimantan Selatan (Gambar 1).







Gambar 1. Peta Kabupaten Tanah Laut

D. Perkembangan MTBS di Kabupaten Tanah Laut
Pertama kali MTBS diperkenalkan pada 2001 yang dilanjutkan dengan pelatihan bagi dokter dan perawat serta bidan di desa untuk 4 puskesmas dari 4 kecamatan yang menjadi sasaran proyek KKG. Pemilihan lokasi berdasarkan tempat diselenggarakannya proyek KKG yang sumber pendanaannya berasal dari hutang ADB. Ujicoba dilakukan puskesmas pada September 2001 setelah tenaga kesehatan yang dilatih serta keperluan dalam praktik MTBS tersedia. Adapun perjalanan waktu implementasi MTBS bisa dilihat pada gambar 2.
Adaptasi buku bagan tidak dilakukan sendiri oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut, namun mengacu pada buku bagan yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI. Demikian juga untuk bagan dinding, kartu nasehat ibu (KNI), formulir MTBS sudah disediakan oleh Depkes. Pelatihan diadakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan pada Juli 2001 . Pada September 2001 mulai diterapkan secara bertahap pemeriksaan balita sakit dengan menggunakan metode MTBS(5). 









Gambar 2 Perjalanan waktu MTBS di Kabupaten Tanah Laut
E. Implementasi awal
Pada Juli 2001, pelatihan petugas kesehatan dimulai dengan ujicoba pada empat puskesmas, yaitu Kurau, Pelaihari, Takisung dan Kintap. Pelatihan ini menggunakan metode 6 hari dengan sesi malam. Kemudian disusul dengan pelatihan tenaga medis dan perawat pada dua puskesmas yaitu Bati-bati dan Kait-kait. Pada tahun yang sama tenaga dokter yang dilatih MTBS tersebut dipanggil kembali untuk dididik sebagai fasilitator MTBS dengan tujuan dapat memfasilitasi pelatihan MTBS serta menjadi supervisor di tempat kerjanya(5). Dan hingga pada akhir tahun 2006 semua puskesmas telah dilatih MTBS, dengan jumlah tenaga yang telah dilatih 124 orang, dan memiliki fasilitator 5 orang(6).

F. Evaluasi Implementasi MTBS
Sebenarnya belum ada evaluasi yang dilakukan dalam menilai implementasi MTBS. Yang ada adalah evaluasi paska pelatiihan. Pada September 2003, dua tahun setelah penerapan MTBS, Dinas Kesehatan mengadakan pemantauan paska pelatihan. Hasilnya belum terdapat peningkatan pada dukungan sistem ; sarana dan prasarana penunjang belum memenuhi standar; supervisi tidak dilakukan, dan cakupan pelayanan terhadap balita sakit masih rendah. Namun yang menggembirakan adalah ketrampilan dan kepatuhan petugas terbilang baik(5). Pada pertengahan 2007 juga dilaksanakan evaluasi paska pelatihan, namun saat paper ini ditulis hasilnya belum bisa diketahui. 

G. Fase Ekspansi
Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut telah melakukan evaluasi kedua pada pertengahan 2007. Hasil yang diharapkan adalah terpantaunya hambatan dan permasalahan dalam implementasi MTBS seperti kelengkapan sarana dan prasarana, kesulitan yang dihadapi petugas dalam melaksanakan MTBS, dan juga mengetahui ketrampilan dan kepatuhan petugas setelah dilatih MTBS. 








METODE 
Isi :
A. Rancangan
B. Lokasi
C. Subjek
D. Cara Pengumpulan Data
E. Analisa Data
F. Diskusi Kelompok Terarah (DKT)















METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan studi kasus dengan lokasi penelitian di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan. Subjek penelitian adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut, Kasie KIA, dan 3 kepala puskemas, 3 orang petugas kesehatan pengelola dan 3 orang bidan di desa dari 3 puskesmas Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi langsung dan pemanfaatan dokumen dan rekaman arsip, serta diskusi kelompok terarah yang kemudian dilakukan triangulasi(7). 

Analisis data didapatkan dari pengamatan, isian kuesioner, transkrip wawancara yang dilakukan kepada kepala dinas, Kasie KIA serta kepala puskesmas serta transkrip DKT. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan skor kepatuhan petugas terhadap standar MTBS , sedangkan isian kuesioner untuk mendapatkan data sarana dan prasarana, supervisi yang diterima oleh puskesmas, insentif bagi petugas, pelatihan MTBS yang diterima pengelola MTBS dan cakupan MTBS di puskesmas. Pada masing-masing transkrip dan hasil pengamatan dan isian dikelompokkan berdasarkan variabel/sub variabel penelitian dan diberi kode. Ditambah dengan data dokumentasi selanjutnya dilakukan cross check. Teknik triangulasi yang digunakan ialah triangulasi metode yaitu menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data, misalnya selain menggunakan DKT juga digunakan metode wawancara, (8).
Analisa data mula-mula dilakukan pada kelompok subjek masing-masing puskesmas, kemudian dilakukan perbandingan antar puskesmas. Selanjutnya dianalisis dengan mengintegrasikan informasi yang telah disusun secara sistematis dengan teori-teori yang diperoleh melalui tinjauan pustaka dan disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan gambar.


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Praktik MTBS di Puskesmas
Bagaimana Alur Pelayanan MTBS?
Setelah mendaftar di loket, pasien balita sakit dibawakan kartu status dan formulir pencatatan MTBS. Ini yang membedakan yang tanpa MTBS di mana formulir MTBS tidak disertakan. Pasien kemudian menuju ruang MTBS untuk diperiksa oleh case manager. Case manager di sini adalah bidan yang telah dilatih MTBS yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan kegiatan MTBS. Pemeriksaan dimulai dengan melakukan penilaian yang dilanjutkan dengan pembuatan klasifikasi yang diikuti dengan pemberian tindakan. Konseling menjadi langkah selanjutnya dan menjadi bagian tak terpisah dari alur MTBS. Case manager menentukan konseling apa yang diperlukan saat pemeriksaan., misalnya perlu diberikan konseling kesehatan lingkungan, gizi, atau imunisasi dan juga berhak meminta petugas yang bersangkutan untuk melakukan konseling. Setelah konseling selesai maka pasien disuruh kembali ke case manager untuk diberikan konseling mengenai cara perawatan anak di rumah. Secara singkat alur pelayanan bisa dilihat pada gambar 3.









Gambar 3 Alur Pelayanan Balita Sakit menggunakan MTBS
Pemeriksaan balita sakit di puskesmas ditangani oleh tim yang dipimpin oleh pengelola MTBS yang berfungsi sebagai case manager . Semua kegiatan pemeriksaan dan konseling tersebut dilakukan di ruang khusus MTBS. 

Apa fungsi dan kedudukan case manager?
Kedudukan case manager tidak ada dalam struktur organisasi puskesmas. Pemilihannya oleh kepala puskesmas berdasarkan pertimbangan pernah mengikuti pelatihan dan sanggup untuk mengelola MTBS. Dalam keseharian pengelola bertanggung jawab kepada koordinator KIA puskesmas. Case manager bertanggung jawab melakukan pemeriksaan dari penilaian membuat klasifikasi serta mengambil tindakan serta melakukan konseling dengan dipandu buku bagan dan tercatat dalam formulir pemeriksaan. 

Apa saja yang dilakukan case manager?
Case manager bertanggung jawab mengelola kasus balita sakti dari penilaian, membuat klasifikasi, dan menentukan tindakan, serta manager menentukan konseling yang diperlukan oleh pasien. Apabila memerlukan konseling gizi, kesehatan lingkungan (kesling), serta imunisasi, petugas mengirim ke petugas yang dibutuhkan dan pasien akan disuruh kembali kepada case manager. Sesudah mendapatkan konseling baru dilakukan penulisan resep serta penjelasan agar pengantar mematuhi perintah yang diberikan dalam pengobatan di rumah. Konseling mengenai cara pemberian obat, dosis, lama pemberian, waktu pemberian, cara pemberian dan lain-lain menjadi hal yang rutin dilakukan. Hasil kegiatan pemeriksaan dicatat dalam register kunjungan yang kemudia direkap setiap akhir bulan untuk dijadikan laporan kegiatan MTBS kepada Dinkes.


Bagaimana dengan alur pemeriksaan tanpa MTBS?
Ada tiga hal yang membedakan alur pelayanan ini dengan MTBS. Pertama peran petugas kesehatan dalam menangani manajemen kasus, yang kedua tempat pemeriksaan dan yang ketiga alur pelayanan balita sakit itu sendiri. Peran petugas sebelum diterapkannya MTBS biasanya hanya bertugas mendampingi dokter, mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya serta mengisikan status pasien ke register kunjungan pasien. Hal kedua adalah tempat pemeriksaan biasanya dilakukan di poliklinik umum, yaitu bergabung dengan pasien dewasa. Hal yang ketiga alur pelayanan pasien, yaitu bisa dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Alur Pelayanan Pemeriksaan Balita Sakit sebelum MTBS

Garis putus-putus pada konseling menunjukkan konseling baru dilaksanakan apabila ada permintaan dari pemeriksa. Sedangkan pada pelayanan MTBS petugas bertanggung jawab sepenuhnya atas hasil semua proses pemeriksaan dan merujuk menjadi wewenangnya. 



Apa perbedaan penanganan balita sakit dengan dan tanpa MTBS?
Perbedaan penanganan balita sakit dengan dan tanpa MTBS bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan Penanganan Balita Sakit dengan dan tanpa MTBS

Rincian Pemeriksaan sebelum MTBS 
Pemeriksaan dengan MTBS 

Pelaksana 
Dokter atau perawat /bidan 
Tim atau perorangan yang telah dilatih MTBS, atau paling tidak sudah mengenal MTBS yang terdiri dari bidan/perawat, petugas kesling, petugas gizi, juru imunisasi

Proses 
1. Menggunakan kartu status
2. Tidak selalu menimbang dan mengukur suhu tubuh
2.Pemeriksaan bergantung dari pemeriksa
3. Tidak selalu memeriksa status gizi, status imunisasi, dan pemberian kapsul vitamin A

1. Menggunakan formulir pencatatan MTBS
2. Selalu memeriksa berat dan suhu badan
3.Apabila batuk selalu menghitung napas, melihat tarikan dinding dada dan mendengar stridor
4.Apabila diare selalu memeriksa kesadaran balita, mata cekung, memberi minum anak untuk melihat apakah tidak bisa minum atau malas minum dan mencubit kulit perut untuk memeriksa turgor
5. Selalu memeriksa status gizi, status imunisasi dan pemberian kapsul vitamin A

Hasil 
Diagnosa dan terapi tergantung pemeriksa 
Klasifikasi yang dikonversikan menjadi diagnosa, tindakan berupa pemberian terapi dan konseling berupa nasehat pemberian makan, nasehat kunjungan ulang, nasehat kapan harus kembali segera
Waktu yang diperlukan 
Kurang lebih 5 menit 
10-15 menit

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara alur pelayanan menggunakan MTBS dengan sebelum menggunakan MTBS. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan adanya tim dan kegiatan konseling. Tim melibatkan beberapa petugas kesehatan yang mempunyai keahlian di bidang masing-masing yaitu gizi, kesehatan lingkungan dan imunisasi di samping pengelola MTBS yang menjadi manajer kasus dalam penanganan balita sakit.
Keberadaan tim dalam penanganan balita sakit sangat mendukung praktik MTBS. Tim yang dipimpin oleh seorang manajer kasus (case manager) yaitu seorang bidan yang bertanggungjawab kepada bidan koordinator KIA. Apabila ada masalah yang berkenaan dengan MTBS bidan koordinator mengkonsultasikan kepada kepala puskesmas. Manajer kasus mendistribusikan tugas serta pekerjaan kepada anggota tim lainnya yaitu petugas gizi untuk menangani konseling gizi, petugas imunisasi untuk pemberian imunisasi yang dibutuhkan anak pada saat pemeriksaan serta petugas kesehatan lingkungan yang menangani penyuluhan berkenaan dengan penyakit yang diakibatkan oleh perilaku dan lingkungan. Kejelasan tugas dalam pembagian kerja menyebabkan penanganan kasus lebih efektif. Masing-masing petugas bisa mengerti pekerjaan dan tugas-tugas yang lain sehingga ketika petugas lain yang diperlukan tidak ada petugas yang ada bisa mengambil alih. Sifat yang fleksibel antar anggota tim inilah yang membantu dalam praktik MTBS sehingga pekerjaan terus berlangsung walaupun ada anggota tim yang tidak ada (9). Ini terbukti dengan cakupan pemeriksaan balita sakit yang berkunjung di puskesmas-puskesmas lebih dari 85%, namun sayangnya belum ada penelitian untuk tingkat kesembuhannya. 

Apa yang menjadi kelemahan dari case manager?
Namun demikian keberadaan case manager ini masih lemah. Case manager tidak masuk dalam struktur organisasi puskesmas dan kedudukkannya berada di bawah koordinator KIA puskesmas. Dengan demikian tidak mempunyai kewenangan memberikan teguran kepada sesama anggota tim yang lain apabila tidak menaati prosedur yang ada. Keberadaannya sebatas di lingkup puskesmas di mana dia bekerja, dan posisinya juga tidak terakomodir di Dinas Kesehatan sehingga dalam perencanaan anggaran di tingkat kabupaten tidak bisa dimasukkan ke dalam mata anggaran Dinkes termasuk di dalamnya adalah insentif bagi petugas pengelola MTBS.

Bagaimana posisi konseling dalam alur MTBS?
Pemberian konseling menjadi unggulan dan sekaligus pembeda dari alur pelayanan sebelum MTBS. Materi meliputi kepatuhan minum obat, cara minum obat, menasehati cara pemberian makanan sesuai umur, memberi nasehat kapan melakukan kunjungan ulang atau kapan harus kembali segera. Dengan pemberian konseling diharapkan pengantar atau ibu pasien mengerti penyakit yang diderita, cara penanganan anak di rumah, memperhatikan perkembangan penyakit anaknya sehingga mampu mengenali kapan harus segera membawa anaknya ke petugas kesehatan serta diharapkan memperhatikan tumbuh kembang anak dengan cara memberikan makanan sesuai umurnya. Semua pesan tersebut tercermin dalam Kartu Nasihat Ibu (KNI) yang biasanya diberikan setelah ibu atau pengantar balita sakit mendapatkan konseling. Ini untuk menjadi pengingat pesan-pesan yang disampaikan serta menjadi pengingat cara perawatan di rumah ( 10).









B. Integrasi atau Keterpaduan dalam Praktik MTBS
Bagaimana bentuk Keterpaduan/Integrasi dalam Praktik MTBS?
Dari pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini terdapat pendekatan yang terintegrasi dalam pemeriksaan balita sakit yaitu memadukan antara pengobatan, promosi dan pencegahan dalam waktu yang bersamaan. Pengobatan diberikan sesuai dengan klasifikasi, promosi ditekankan pada peningkatan pemberian makan pada balita sakit sesuai umur yang dilakukan di tingkat rumah tangga, sedangkan pencegahan penyakit ditekankan pada pemberian imunisasi, konseling pemberian ASI dan makanan tambahan, pemberian suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi sesuai yang telah ditetapkan. 

Manfaat apa yang diperoleh dari keterpaduan intervensi tersebut?
Intervensi terintegrasi mencegah kasus kehilangan kesempatan (missed opportunity) pada balita. Petugas kesehatan selalu menanyakan status imunisasi serta sudah diberikan kapsul vitamin A. Untuk langkah selanjutnya apabila disimpulkan pasien memerlukan imunisasi serta kapsul vitamin A akan diberikan apabila tidak ada kontra indikasi pemberian imunisasi. Dengan demikian balita tidak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan imunisasinya serta cakupan imunisasi akan bertambah.
Intervensi integrasi diharapkan dapat meningkatkan tumbuh kembang anak, mencegah penyakit dan merespon terhadap penyakit yang diderita anak. Intervensi dilaksanakan pada tingkat rumah tangga dan saat di puskesmas yaitu dengan memberi penekanan pada penyuluhan pemberian makan dan penggunaan kelambu di daerah malaria serta mencegah suatu penyakit dengan cara pemberian imunisasi dan kapsul vitamin A.


Jenis intervensi apa saja dalam praktik MTBS dan di mana dilakukan?
Intervensi berupa pengobatan (kuratif), penyuluhan (promotif) dan pencegahan (preventif). Intervensi bisa dilaksanakan di rumah pasien dan juga bisa dilakukan di fasilitas kesehatan. Secara rinci bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Contoh Intervensi Integrasi
Jenis Intervensi Tujuan Intervensi

Dilaksanakan di rumah penderita
1. Intervensi berupa konseling kepada keluarga untuk meningkatkan gizi (promosi)
2. Pemberian oralit di rumah untuk kasus diare (kuratif)
3. Intervensi untuk meningkatkan kepedulian terhadap penyakit di rumah tangga (promosi)
4. Intervensi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan (promosi)


Cara memberikan makanan secara benar


Intervensi untuk meningkatkan pengobatan awal di rumah tangga 
Keluarga lebih peduli terhadap penyakit yang diderita anak

Keluarga patuh dalam memberikan obat kepada anaknya

Dilaksanakan di puskesmas
1. Manajemen kasus pneumonia, diare, campak, masalah telinga, anemia dan BGM (Kuratif)
2. Konseling pemberian ASI dan makanan tambahan (promosi dan pencegahan)
3. Pemberian imunisasi 
4. Pemberian suplemen Vitamin A dosis tinggi (pencegahan)
5. Pemberian terapi besi (kuratif)
6. Pemberian obat cacing (kuratif) 

Pemberian antibiotika dan preparat yang tepat


Anak tidak jatuh dalam status gizi buruk 

Anak terhindar dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan pemberian kapsul Vit A
Anemia dapat teratasi

Penyebab anemia dapat dihilangkan


Tabel 2 menjelaskan intervensi yang bisa dilaksanakan di rumah dan di puskesmas. Harapan dilibatkannya keluarga ikut dalam proses pengobatan balita sakit yaitu keluarga berdaya untuk menangani perawatan anak di rumah, mengenali tanda-tanda yang membahayakan jiwa si anak serta mematuhi perintah dalam pemberian obat.

Bagaimana lingkup integrasi dalam praktik MTBS?
Hasil penelitian praktik MTBS di puskesmas-puskesmas di Kabupaten Tanah Laut sudah menerapkan keterpaduan/integrasi pada pemeriksaan balita sakit. Integrasi dapat diartikan dalam dua hal yaitu integrasi dalam aktor pelaksananya dan integrasi dalam macam intervensi yang diberikan. Integrasi dalam aktor pelaksananya diartikan sebagai penanganan balita sakit dikelola oleh tim yang dikoordinir oleh satu pengelola MTBS yang bertindak sebagai case manager yang berfungsi sebagai pemeriksa sekaligus pemberi tindakan dan konseling serta menentukan rujukan serta melibatkan anggota lain yang mempunyai keahlian lain yaitu juru imunisasi, petugas gizi dan petugas kesehatan lingkungan. Integrasi dalam intervensi diartikan sebagai seorang pasien menerima beberapa intervensi dalam satu waktu pada saat pemeriksaan. Penjelasannya adalah seorang pasien selain mendapatkan pengobatan (kuratif) juga mendapatkan tindakan promosi berupa konseling pemberian makan serta tindakan preventif berupa pemberian imunisasi dan kapsul vitamin A. 
Intervensi melibatkan partisipasi petugas kesehatan dalam kapasitasnya sebagai bagian dari sistem kesehatan dan pengantar atau ibu balita sakit. Intervensi yang dilakukan di tingkat rumah tangga dan di puskesmas merupakan akibat dari adanya implementasi MTBS yang mendorong meningkatnya kemampuan petugas kesehatan dalam pencegahan dan pengobatan balita sakit, meningkatkan partisipasi Dinas Kesehatan untuk memberikan pelayanan yang lebih bermutu serta meningkatkan kemampuan keluarga dalam menangani perawatan di rumah (11). 


Kepatuhan Petugas terhadap Standar MTBS
Apa kriteria kepatuhan petugas terhadap standar dan bagaimana mengukurnya? 
Kepatuhan petugas terhadap standar MTBS yaitu derajat kepatuhan petugas menangani balita sakit dengan mengikuti alur bagan yang sudah baku di dalam melakukan penilaian, pembuatan klasifikasi, pengambilan tindakan serta melakukan konseling. Pengamat memperhatikan dan mencocokkan dengan formulir pengamatan yang telah tersedia, kemudian memberi tanda apakah yang dilakukan oleh petugas benar atau salah. 

Bagaimana dengan hasil pengamatan terhadap kepatuhan petugas?
Dari hasil pengamatan di tiga puskesmas terhadap kepatuhan petugas mendapatkan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3 Kepatuhan Petugas terhadap Standar MTBS
Puskesmas Fungsi 
Kurau
(n =13) 
Pelaihari
(n =15) 
T. Jaya
(n =15) 
Kabupaten
(n = 43)
Penilaian 69% 75% 82% 75%
Klasifikasi 72% 43% 65% 60%
Tindakan 58% 62% 68% 63%
Konseling 49% 75% 89% 71%
Keseluruhan fungsi 62% 64% 76% 67%

Tabel 3 memperlihatkan hasil pemantauan kepatuhan petugas secara keseluruhan sudah cukup, namun demikian masih di bawah standar yang ditetapkan Depkes yaitu 67 persen dari 85 persen yang ditetapkan. Nilai bervariasi dalam penilaian, membuat klasifikasi, memberikan pengobatan serta memberikan konseling. Hasil terendah dalam kepatuhan petugas di Puskesmas Pelaihari dalam membuat klasifikasi yaitu 43 persen, sedangkan yang tertinggi adalah fungsi konseling di Puskesmas Tirta Jaya yaitu 89%. 

Apa yang menjadi kunci sukses terhadap kepatuhan petugas tersebut?
Kekonsistenan petugas dalam melaksanakan pemeriksaan balita sakit dengan mengikuti standar yang ada menjadi kunci keberhasilan memenuhi derajat kepatuhan. Hal ini disebabkan derajat kepatuhan ditentukan oleh jumlah kumulatif dari seluruh item yang dikerjakan secara benar dibagi seluruh item yang dikerjakan, yaitu kegiatan MTBS terdiri dari empat proses yaitu penilaian, klasifikasi, tindakan dan konseling. 
Cara penilaian yang dilakukan tergantung masalah apa yang dikerjakan yaitu dengan mengisi format pencatatan MTBS dimana bisa dalam bentuk bertanya, melihat, memeriksa, mendengar, melihat dan meraba dan sebagainya. Klasifikasi ditetapkan setelah melihat hasil gejala dan tanda yang ditemukan pada penilaian dan akan diteruskan dengan melakukan tindakan yang sesuai. Tindakan ini juga mengacu pada buku bagan MTBS . Adapun permasalahan yang dinilai meliputi tanda bahaya umum, batuk atau sukar bernapas, diare, demam, masalah telinga, gizi buruk dan anemia , status imunisasi, pemberian kapsul vitamin A serta pemberian makan dan konseling .
Bagaimana upaya puskesmas agar supaya petugas tetap patuh terhadap standar?
Berbagai upaya dilakukan oleh kepala puskesmas yang merangkap sebagai fasilitator MTBS ini agar supaya petugas kesehatan mau tetap menjalankan praktik MTBS dalam arti patuh terhadap standar. Di Puskesmas Kurau memulainya dengan memberi pemahaman tujuan diadakannya MTBS, yaitu menurunkan angka kematian bayi balita. Program ini akan mempunyai daya ungkit terhadap cakupan program yang rendah seperti kasus pneumonia. Dan peningkatan cakupan penyakit yang menimbulkan kematian utama pada bayi balita ini memang melonjak tajam, dan ini memberikan penanaman pemahaman kepada petugas bahwa MTBS memudahkan pekerjaan mereka. Dan juga menekankan pemahaman bahwa metode ini merupakan program yang terintegrasi yaitu tidak hanya memandang pada satu penyakit saja, tetapi mungkin ada kasus-kasus lain yang diderita balita sakit tersebut yang pada akhirnya memberikan pengaruh terhadap program yang lain. Seperti diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Kurau :
Jadi kita hanya menyadari bahwa MTBS itu sangat berguna dan efeknya terasa, dan itu disadari petugas.oh ya kasus pneumoni jadi tetep tinggi, kasus diare bisa teratasi, kasus gizi buruk bisa dicegah dan sebagainya

Kepala Puskesmas Pelaihari juga mengamini pendapat Puskesmas Kurau, dimana terdapat peningkatan cakupan penemuan pneumonia. Seperti diutarakan seperti ini :
kalau dulu mungkin sebelum MTBS kita hanya mendapat 10% saja sudah ngoyo saya pikir. Ya kalau sekarang mungkin 100% sesuai target ya nggak , tapi paling ndak kita bisa mendapatkan 50% dari penjaringan MTBS ini

Grafik 1 Cakupan Pneumonia di beberapa Puskesmas tahun 2000-2006

Grafik 1 menggambarkan kecenderungan peningkatan kasus pneumonia setelah ujicoba MTBS pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2006. Puskesmas Kurau dan Puskesmas Pelaihari cakupannya merambat naik saat dimulai penerapan MTBS pada tahun 2001 dan semakin bertambah banyak. Dapat juga dilihat Puskesmas Tirta Jaya yang dahulunya merupakan bagian dari wilayah kerja Puskesmas Pelaihari mulai saat berdirinya pada tahun 2005 langsung menerapkan MTBS cakupan pneumonianya lebih tinggi daripada Puskesmas Takisung, Puskesmas Bati-bati dan Puskesmas Kait-kait yang notabene menjadi puskesmas uji coba pada saat proyek KKG. Yang menyolok sekali adalah cakupan pada Puskesmas Asam-asam yang tidak menerapkan MTBS, di sini penemuan kasus pneumonia sangat rendah bahkan pernah tidak ditemukan kasus dalam satu tahun.

Apa yang menjadi penyebab ketidakpatuhan petugas?
Dalam penelitian ini kepatuhan petugas terhadap standar sudah cukup yaitu 67% . Beberapa variasi nilai dari kepatuhan dalam penilaian, klasifikasi, tindakan serta konseling saling mempengaruhi sehingga pada skor akhir akan diketahui nilai keseluruhan dari kepatuhan petugas. Ketidakpatuhan petugas dalam mematuhi standar mengakibatkan penilaian yang tidak lengkap, pembuatan klasifikasi yang tidak tepat, pemberian tindakan yang tidak sesuai serta melakukan konseling menjadi sangat singkat. Hal ini tentu akan mempengaruhi mutu pelayanan dari penanganan balita sakit. 
Ada beberapa hal yang menghambat praktik MTBS ini berjalan . Ketiadaan insentif bagi petugas, lemahnya atau tidak adanya supervisi yang dilakukan oleh Dinkes Kabupaten Tanah Laut serta lemahnya menjaga penampilan dari petugas menyebabkan motivasi petugas untuk mengerjakan MTBS secara menyeluruh menjadi rendah. Lemahnya pengetahuan dan ketrampilan petugas juga menjadi sebab dari kekurangan tersebut . Hal ini disebabkan oleh pelatihan MTBS yang tidak standar yaitu mengacu pada WHO 6 hari dengan sesi malam. Hanya petugas dari Puskesmas Tirta Jaya yang pernah mengikuti pelatihan tersebut, sedangkan 2 puskesmas yang lain dilayani oleh petugas yang dilatih dengan metode 6 hari tanpa sesi malam. Ketiadaan bahan cetakan bisa menjadi penyebab kepatuhan berkurang. Puskesmas Kurau tidak mempunyai Kartu Nasehat Ibu (KNI) yang menjadi perangkat dari konseling. Jadi pada saat konseling petugas hanya memberikan nasihat seingatnya tanpa dipandu format khusus berupa KNI. 









Dukungan Manajemen Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut

A. Pengelolaan Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana apa yang diperlukan di puskesmas untuk menjalankan praktik MTBS?

Di dalam penanganan balita sakit yang datang ke puskesmas, puskesmas pembantu dan polindes tentunya memerlukan sarana dan prasarana, tidak terkecuali bila penanganannya dengan metode MTBS. Sarana dan prasarana sudah diatur sedemikian rupa sehingga menjadi standar untuk pengadaan barang yang diperlukan. Sebenarnya tidak banyak peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk terlaksananya pemeriksaan terpadu balita sakit tersebut. Untuk peralatan diperlukan timer untuk menghitung napas kalau pun tidak ada bisa memakai arloji atau jam dinding yang ada detikannya, termometer untuk mengukur suhu badan maupun timbangan badan untuk mengukur berat badan. Obat-obatan juga tidak terlalu sulit untuk dicari, bahkan sebetulnya sudah rutin diadakan oleh Gudang Farmasi. Meminjam istilah Kepala Puskesmas Pelaihari :
Untuk obat-obatan karena kita mengacunya di MTBS itu cukup obat murah dan meriah ya..alhamdulillah sekarang terpenuhi saja. ..nggih lengkap..tetapi untuk yang pembaharuan ini MTBS yang kayak artesunat ..malaria nggih.. untuk pengobatan malaria itu ee.. kita tidak ..belum .belum..belum dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan

Bahan cetakan juga diperlukan dalam pelaksanaan MTBS, meliputi formulir pencatatan, Kartu Nasehat Ibu (KNI), serta buku bagan. Sedang modul diperlukan pada saat mau pun setelah pelatihan yaitu untuk belajar memahami rangkaian penilaian, klasifikasi maupun tindakan sampai pelaksanaan konseling. Sedangkan bagan dinding diperlukan untuk media penyuluhan bagi pasien dalam menjelaskan langkah-langkah yang diambil oleh petugas. 

Bagaimana kondisi sarana dan prasarana pada saat penelitian dilakukan?
Pada pemantauan didapatkan beberapa item sudah lengkap, yaitu formulir pencatatan dan modul MTBS. Sedangkan KNI di Puskesmas Kurau kosong. Bagan dinding di semua puskesmas tersedia, namun untuk Puskesmas Pelaihari dan Tirta Jaya mengadakan sendiri dengan cara memperbesar ukuran bagan dinding dengan cara difotokopi yang kemudian diwarnai sesuai buku bagan. 
Dari hasil pengamatan dan wawancara serta DKT ternyata dibutuhkan ruangan khusus untuk tempat pemeriksaan balita sakit. Beragam alasan yang dikemukakan untuk keperluan ruangan tersebut,salah satunya adalah mengurangi resiko penularan penyakit TBC bila bergabung dengan poliklinik umum, memerlukan ruangan yang bikin suasana seperti tempat bermain supaya anak tidak rewel saat diperiksa, membutuhkan ruangan pemeriksaan yang lebih tenang dan lebih leluasa sehingga saat menyampaikan pesan atau konseling kepada pengantar akan lebih baik dan tidak terganggu dengan kegiatan yang lain. Seperti diungkapkan oleh petugas kesehatan di Puskesmas Tirta Jaya :
Jadi pasien tuh..misalnya dua pasien MTBS akhirnya ke kesling jadi tidak mengganggu yang diMTBS karena kan di sini ngomong di situ ngomong akhirnya kan pemahaman ibu itu akhirnya berbeda






Tabel 4 Kelengkapan Fasilitas Penunjang MTBS
Jenis Fasilitas Penunjang Puskesmas
Kurau Pelaihari Tirta Jaya
1. Tempat Pemeriksaan dan peralatan Tidak tersedia, bergabung dengan klinik sanitasi
Manset anak tidak tersedia Tersedia, khusus untuk pemeriksaan balita sakit 
Alat lengkap Tersedia, bergabung dengan klinik sanitasi dan pojok gizi
Manset anak dan timer tidak tersedia
2. Pojok Oralit Tidak tersedia Tersedia Tersedia 
3. Tempat Imunisasi Tersedia Tersedia Tersedia 
4. Persediaan obat Hampir semua ada kecuali obat injeksi Gentamisin, Kinin Hampir semua ada kecuali obat injeksi Gentamisin, Kinindan Kloramfenikol Hampir semua ada kecuali obat injeksi Gentamisin, Kinin dan Kloramfenikol
5. Barang Cetakan Formulir pencatatan, buku bagan dan modul MTBS tersedia
Kartu Nasehat Ibu kosong Formulir pencatatan, buku bagan dan modul MTBS tersedia
serta Kartu Nasehat Ibu tersedia Formulir pencatatan, buku bagan dan modul MTBS tersedia
serta Kartu Nasehat Ibu tersedia

Tabel 8 memperlihatkan keadaan fasilitas penunjang di 3 puskesmas di Kabupaten Tanah Laut. Beberapa item obat memang ada yang tidak tersedia baik itu di puskesmas maupun di Gudang Farmasi, contohnya injeksi Gentamisin dan injeksi Penisilllin Procain, serta tablet anti malaria jenis baru (Artemisunat) . Namun ada juga tidak tersedia di puskesmas namun sebetulnya tersedia di gudang, sebagai contoh injeksi Chloramfenicol. 

Apa yang menjadi hambatan dalam mengatasi kekurangan tersebut?
Sebetulnya jenis-jenis obat tersebut sudah diusulkan dalam perencanaan obat melalui LPLPO (Lembar Pengadaan dan Lembar Pelaporan Obat), namun sampai sekarang tidak terealisasi. Justeru yang didapat puskesmas adalah obat-obat rutin yang kadang tidak diperlukan. Seperti dikatakan Kepala Puskesmas Kurau :
Dan pada dasarnya selama ini kami mencoba untuk memasukkan item-item yang mungkin tidak hanya dari kerutinan gudang farmasi untuk memberikan item-item tertentu pada puskesmas , tetapi kuncinya disini adalah bagaimana mereka mau me..apa menerima masukan dari bawah item apa sih yang dibutuhkan, bukan artinya drop-dropan yang mana kami inginkan tidak , justru yang tidak kami perlukan itu diberikan oleh mereka.

Pengalaman yang mirip ternyata dialami juga oleh Kasi KIA dalam menindaklanjuti hasil supervisi ditemukan kekurangan alat medis berupa manset anak dan bahan cetakan berupa Kartu Nasehat Ibu(KNI) . Khusus untuk KNI , kekosongan ini menyebabkan petugas kekurangan media untuk memberikan konseling. KNI didesain sedemikian rupa sehingga dapat dibawa pulang oleh pengantar dan digunakan untuk mengingatkan pesan-pesan kunci pada pengantar. Dan juga sebagai bantuan konseling. Gambar-gambar yang ada membantu petugas mengingat apa yang dibicarakan dengan pengantar. Demikian juga ada tempat untuk menulis atau memberi tanda di KNI untuk dapat diingat oleh pengantar(10).

Apa respon Dinkes terhadap kekurangan tersebut?
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada tim teknis kabupaten yang diwakili Kasie KIA sebenarnya telah menginventarisir kekurangan-kekurangan tersebut pada saat pemantauan paska pelatihan. Sedianya usulan tersebut bisa diajukan dalam anggaran biaya tambahan (ABT), namun hal tersebut sulit diwujudkan oleh karena bagian perencanaan tidak melibatkan tim teknis dari Seksi KIA sehingga tidak mengetahui apa yang dibutuhkan dalam pelaksanaan MTBS. Akibatnya usulan baru bisa diajukan untuk tahun anggaran 2008, dengan konsekwensi ketiadaan barang yang diusulkan sehingga pelayanan menjadi tidak optimal. Seperti yang diungkapkan dalam wawancara :
… untuk ..tahun 2007 ..ini kemarin dari pihak dinas ini waktu perencanaan itu tidak mau ini.. mau menghubungi dari tim teknis kami sehingga seandainya ada perencanaan ditawarkan kepada kami tim teknis nih mungkin kami bisa ngomong nih bahwa yang..yang perlu untuk 2007 nih berdasarkan hasil dari pemantauan kami nih seperti manset anak , untuk tahun 2007 tidak bisa mengatasi dan mungkin baru tahun 2008 nanti 

Hal ini tidak selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan :
..program MTBS itu tidak mencukupi biasanya kami alokasikan juga pada saat nanti ada anggaran biaya tambahan atau ABT sehingga pelayanan kepada masyarakat tetap dapat kita layani secara optimal.

Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan puskesmas untuk mengatasi kekurangan tersebut?
Namun beberapa kekurangan tersebut boleh jadi tidak menjadi masalah bagi puskesmas yang mengalaminya. Ketiga puskesmas sepakat dalam menyikapi ketiadaan obat suntik dengan mengatakan tidak melakukan tindakan pra rujukan dengan alasan yang sama yaitu dekat dengan tempat rujukan atau rumah sakit. Salah satu yang mewakili pendapat tersebut adalah pada saat DKT :
untuk injeksi memang kita tidak tersedia di Puskesmas Tirta Jaya jadi seperti Gentamisin, Kinin, padahal di tempat kita memang ada daerah resiko tinggi malaria dan untuk mengatasi memang ada itu , kita memang kita lihat dari tempat rujukan yang lebih mampu kira-kira bisa ditempuh dengan waktu limabelas menit jadi kalaunya memang diperlukan kita ..rujuk aja karena waktu yang tidak begitu lama untuk mencapai rujukan itu.

Swadaya puskesmas menjadi satu jalan keluar guna mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut. Beberapa contoh yang bisa disebutkan baik dalam wawancara, DKT dan pengamatan adalah pengadaan formulir pencatatan MTBS, pembelian termometer dan timer, pengadaan permainan anak untuk menenangkan anak saat diperiksa. 

Foto 1 Suasana pemeriksaan balita sakit pada salah satu puskesmas di Kabupaten Tanah Laut

Kesimpulan apakah yang bisa diambil dalam hal dukungan sarana dan prasarana?
Pada penelitian ini penerapan MTBS di Kabupaten Tanah Laut belum dapat meningkatkan dukungan sistem kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS, termasuk untuk fasiitas penunjang MTBS. Ketidaktersediaan obat yang dibutuhkan, terbatasnya ruangan puskesmas yang dibangun sehingga tidak ada ruangan khusus untuk pemeriksaan MTBS, tidak tersedianya alat-alat medis yang diperlukan serta minimnya atau tidak adanya barang cetakan yang dibutuhkan untuk terlaksananya MTBS ini menjadi bukti lemahnya dukungan manajemen Dinkes. 

B. Kegiatan Pelatihan

Bagaimana riwayat pelatihan MTBS di Kabupaten Tanah Laut?
Penerapan MTBS di Kabupaten Tanah Laut dimulai pada pertengahan tahun 2001 dengan terlebih dahulu dilakukan pelatihan terhadap dokter puskesmas, bidan koordinator dan bidan desa yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi . Pendanaan berasal dari Proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi ( KKG) atau Family Health dan Nutrition (FHN) dengan mendatangkan fasilitator dari pusat dengan metode 6 hari dengan sesi malam. Ketiga puskesmas, yaitu Kurau, Pelaihari dan Tirta Jaya mempunyai tenaga kesehatan yang merupakan produk pertama dari ujicoba penerapan MTBS di Propinsi Kalimantan Selatan selain 4 kabupaten yang lain, yaitu Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah yang merupakan sasaran Proyek KKG. Kemudian 3 dokter yang sudah dilatih MTBS tersebut melanjutkan pelatihan tingkat lanjut berupa loka karya fasilitator MTBS sehingga menjadi fasilitator propinsi.

Metode pelatihan MTBS mana yang dipakai Dinkes?
Ada 2 metode yang digunakan Dinkes dalam pelatihan MTBS. Yang pertama adalah metode 2-3 hari tanpa sesi malam dan 6 hari tanpa sesi malam. Keduanya pernah dipakai Dinkes dalam melatih petugas yaitu bidan di desa dan bidan di puskesmas. Dari hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak terungkap bahwa dari 160 petugas kesehatan 119 yang sudah dilatih. Namun jumlah tersebut berbeda dengan laporan yang diberikan Bidang Kesehatan Keluarga yang menyebutkan jumlah total yang dilatih adalah 124 orang. Jumlah ini akan bertambah oleh karena yang dicatat Bidang Kesga tersebut hanya yang dilatih sesi 6 hari tanpa sesi malam dan petugas kesehatan yang dilatih tersebut adalah bidan. Ini terjadi karena program MTBS berpindah pengelola dari Seksi Pencegahan Penularan Penyakit (P2P). 

Siapa yang dilatih ?
Pada awal ujicoba yang dilatih adalah tenaga medis, bidan koordinator KIA serta bidan di desa. Kemudian dilanjutkan dengan pelatihan bagi perawat yang menangani poliklinik dan bidan desa. Pada akhir tahun 2006 dilatih kembali bidan KIA dan bidan di desa.

Cukupkah tenaga kesehatan yang dilatih MTBS untuk dapat menjalankan MTBS dan bagaimana mutunya?
Dilihat dari segi kuantitatif sudah mencukupi, namun dari segi kualitas perlu dipertanyakan karena pengelola MTBS di 2 puskesmas dilatih dengan metode 6 hari tanpa sesi malam. Pelatihan MTBS memerlukan waktu yang lama oleh karena memakai banyak metode pelatihan, yaitu membaca modul, pertanyaan umpan balik, latihan mengerjakan soal, bermain peran dalam konseling, melihat video, latihan pengamatan klinis di rumah sakit serta latihan pengamatan antar peserta. WHO mengalokasikan waktu 6 hari dengan sesi malam untuk menyelesaikan pelatihan MTBS ini secara optimal.

Bagaimana peran kepala puskesmas sekaligus sebagai fasilitator dalam praktik MTBS di puskesmas?
Semua puskesmas yang diteliti sudah mempunyai tenaga fasilitator dan tenaga kesehatan yang dilatih tatalaksana MTBS, termasuk yang melayani di unit rawat jalan dan bidan di desa. Di dalam DKT dan wawancara terungkap peran fasilitator ini penting dalam penerapan MTBS. Setelah mendapatkan pelatihan di propinsi fasilitator yang kebetulan menjadi kepala puskesmas di Kurau dan Pelaihari memberikan pelatihan on the job training di mana semua bidan di desa dan perawat diberi pengenalan dan pelatihan dasar-dasar pelaksanaan MTBS. Ini bisa dilihat dari pernyataan Kepala Puskesmas Kurau :
Dan sebenarnya saya juga selaku kepala puskesmas punya ada kebijakan pada saat siang hari kita melakukan suatu on the job training kemudian ada ya semacam apa yaa..tidak seperti pelatihan yang sebenarnya. Tapi paling tidak kita mengajarkan dasar-dasar daripada pelaksanaan MTBS

Hal tersebut membawa pengaruh baik oleh karena mereka semua sudah mengenal MTBS secara keseluruhan, dan ini berdampak bagus dalam menjalani pelatihan yang sebenarnya. Seperti yang terungkap dalam DKT :
Tapi kami di puskesmas sudah sosialisasi diulang-ulang oleh kebetulan kan kepala puskesmasnya juga fasilitator MTBS . Jadi walaupun tidak pelatihan resmi kami sudah mengikuti langkah-langkah itu. 

Kepala puskesmas berperan sebagai pemimpin atau sebagai manajer. Pada awal pelaksanaan kepala puskesmas dapat menekankan bagaimana pentingnya penerapan MTBS itu bagi kemudahan menjalankan tugas yang diemban oleh petugas. Dengan demikian MTBS dilihat bukan sebagai suatu kewajiban saja untuk dilaksanakan tetapi justru menjadi kebutuhan untuk menjalankannya. Perasaan butuh atau memiliki inilah yang memotivasi petugas kesehatan memulai, melaksanakan dan mempertahankan penerapan MTBS hingga sampai sekarang (12). Yang menjadi bukti adalah penerapan MTBS masih berjalan sampai sekarang dan hampir semua balita sakit ditangani dengan metode ini. Peran yang lain adalah bagaimana seorang pemimpin harus mampu menerapkan MTBS, membentuk budaya organisasi , mampu menjadi pengamat untuk memahami langkah-langkah yang dilaksanakannya, dan juga mampu menjadi penjamin mutu dalam lingkungannya (13). Peran ini bisa dilakukan oleh kepala puskesmas apabila dia mempunyai keahlian di bidang MTBS paling tidak dia pernah mengikuti pelatihan MTBS.

Kepala puskesmas seperti apa yang dapat mempengaruhi implementasi MTBS?
Kepala puskesmas yang mampu menjalankan peran selaku pemimpin dan manajer akan mampu membuat tim MTBS yang berdaya guna melalui pembentukan hubungan kerja sama yang kuat di antara staf sehingga menciptakan komitmen yang kuat untuk memberikan waktu dan kemampuannya. Kemampuan melakukan manajemen yang baik membantu membangun dan menjaga kelangsungan praktik MTBS. Pelaksanaan supervisi yang membangun memberdayakan staf untuk belajar menghadapi tantangan atau masalah. Manajemen yang baik juga membuat staf lebih mudah dalam pekerjaannya, mudah mendapatkan informasi dan dapat memantau tingkat kemajuan dalam pelaksanaan MTBS. Semua keadaan tersebut membuat iklim kerja yang positif. Kemampuan memimpin memungkinkan untuk memperjelas tujuan dan prioritas, berkomunikasi secara efektif, dapat mengatasi masalah dan memotivasi komitmen tim. 
Kepala puskesmas yang mampu menjalankan peran selaku pemimpin dan manajer akan mampu membuat tim MTBS yang berdaya guna melalui pembentukan hubungan kerja sama yang kuat di antara staf sehingga menciptakan komitmen yang kuat untuk memberikan waktu dan kemampuannya. Kemampuan melakukan manajemen yang baik membantu membangun dan menjaga kelangsungan praktik MTBS. Pelaksanaan supervisi yang membangun memberdayakan staf untuk belajar menghadapi tantangan atau masalah. Manajemen yang baik juga membuat staf lebih mudah dalam pekerjaannya, mudah mendapatkan informasi dan dapat memantau tingkat kemajuan dalam pelaksanaan MTBS. Semua keadaan tersebut membuat iklim kerja yang positif. Kemampuan memimpin memungkinkan untuk memperjelas tujuan dan prioritas, berkomunikasi secara efektif, dapat mengatasi masalah dan memotivasi komitmen tim(14). 

Pengaruh apa yang terjadi setelah pelatihan MTBS diberikan kepada petugas?
Pelatihan MTBS diakui petugas kesehatan membawa perubahan terhadap pelayanan balita sakit. Dalam menangani balita sakit sebelum diberikan pelatihan petugas hanya fokus pada keluhan yang disampaikan oleh pengantar saja. Namun setelah mendapatkan bekal ilmu MTBS ternyata mereka bisa mendeteksi kelainan-kelainan pada balita seperti diare, demam berdarah, malaria, gizi dan anemia, dan juga mempermudah pekerjaan mereka dalam menangani kasus balita sakit. Dan ini terbukti pada penemuan kasus pneumonia di ketiga puskesmas yang meningkat setelah diterapkannya MTBS. 






C. Pemberian Insentif

Adakah insentif khusus petugas MTBS yang disediakan oleh Dinkes?

Insentif khusus petugas MTBS dan juga insentif dalam bentuk lain diakui tidak ada oleh Kepala Dinas. Hal ini juga dibenarkan oleh Kasi KIA. Pada wawancara dan DKT terungkap insentif khusus petugas tidak ada, namun ada proyek yang nilainya sangat kecil sekali yang ditujukan untuk program MTBS yaitu penanganan balita sakit yang dialokasikan untuk 1 desa sebesar Rp.25,000.- dalam satu tahun. Itu pun dibagi dengan bidan desa yang memiliki wilayah. 

Jenis insentif apakah yang didapat petugas yang diberikan oleh puskesmas?
Ada dua jenis insentif yang bisa diterima, yaitu pertama jasa pelayanan yang diberikan untuk pelayanan gratis dan yang kedua pembagian akhir tahun. Secara ringkas dapat dilihat dari Tabel 6.


Tabel 6 Jenis Insentif bagi Petugas MTBS

No 
Jenis Insentif Puskesmas
Kurau Pelaihari Tirta Jaya
1
Insentif khusus petugas MTBS Tidak ada Tidak ada Tidak ada
2 Jasa pelayanan kesehatan gratis
Tidak ada informasi Ada Ada
3 Pembagian akhir tahun
Ada Ada Ada 


Apa yang menjadi alasan insentif tidak terlalu menjadi masalah bagi petugas dalam menjalankan MTBS?

Ada dua alasan mengapa ketiadaan insentif khusus dari Dinkes tidak terlalu menjadi masalah bagi petugas. Pertama adanya insentif dari puskesmas, dan yang kedua insentif tidak selalu harus berwujud uang. Insentif bersumber dari pembagian akhir tahun walau pun dalam pembagian tidak hanya khusus untuk petugas yang mengerjakan MTBS. Semua staf puskesmas mendapatkan pembagian sesuai porsi kerja mereka. Uang hanya salah satu motivator bagi petugas kesehatan di samping motivator-motivator yang lain. Beruntung sekali beberapa penelitian baru-baru ini memperlihatkan uang bukan segala-galanya bahkan ada periset yang mengatakan uang justru menjadi dismotivator, dalam pengertian bahwa kehadirannya tidak menjamin adanya kepuasan kerja (15). 
Insentif yang kedua adalah insentif non material. Pemberian sumbangan dari puskesmas saat ada momen-momen khusus,, pemberian promosi (kenaikan pangkat), kebebasan mengambil keputusan, pemberian pujian lisan maupun tertulis baik secara resmi mau pun pribadi serta perasaan terpenuhi harapan dan kemampuan menjadi bagian selain insentif berbentuk uang. Pemberian perlengkapan khusus yang dibutuhkan untuk ruang kerjanya juga menjadi bagian dari insentif non material ( 16) . 
Model hubungan manusia ( human relation model) bisa juga menjelaskan bahwa uang bukan segalanya. Petugas kesehatan yang telah dilatih MTBS akan meningkat ketrampilan dan kepercayaan dirinya dalam menangani balita sakit oleh karena mereka telah belajar mengikuti langkah-langkah dalam penilaian, membuat klasifikasi dan memberikan tindakan yang berdasarkan instruksi yang jelas dan benar ( 17). Perasaan mampu dan percaya diri ini menjadikan petugas mempunyai perasaan menjadi orang yang berguna dan penting, sehingga muncul keinginan untuk menjadi anggota dan menjadi individu yang dikenali. Kebutuhan akan perasaan itu lebih penting dari pada uang sebagai pemberi motivasi dalam pekerjaan ( 15).
D. Pelaksanaan Supervisi

Adakah supervisi khusus MTBS yang dilakukan oleh Dinkes?

Supervisi khusus MTBS oleh Dinas Kesehatan tidak pernah dilakukan . Hal ini diakui oleh Kadinkes , namun supervisi secara terpadu yang dilakukan oleh Kasi KIA memang dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan lintas program. Supervisi yang dilakukan mulai awal penerapan MTBS tahun 2001 hingga 2007 ini baru 2 kali dilaksanakan. Hal ini terkait dengan evaluasi pemantauan paska pelatihan yang dilaksanakan setelah diadakan pelatihan. Pada wawancara dan DKT terungkap supervisi dilakukan tidak hanya oleh Dinkes, namun juga dari Depkes Pusat dan Propinsi (di Puskesmas Kurau) dan oleh kepala puskesmas sekaligus sebagai fasilitator ( Puskesmas Kurau, Puskesmas Pelaihari dan Puskesmas Tirta Jaya). 

Bagaimana aktifitas supervisi yang dilakukan oleh Dinkes?
Sebelum supervisi dilaksanakan terlebih dahulu Dinkes memberikan jadwal kunjungan ke puskesmas-puskesmas yang akan dipantau. Pada saat tim supervisi datang, mereka membawa daftar tilik/ceklis yang bisa dilihat pada lampiran dan mengamati petugas yang memeriksa balita sakit, juga mengamati formulir pencatatan yang telah diisi petugas, persediaan obat dan alat, bahan cetakan yaitu formulir pencatatan dan kartu nasehat ibu, juga mengecek kondisi vaksin. Pada akhir pertemuan mereka memberikan masukan tentang hasil pemantauan hari itu dan memberikan umpan balik secara lisan. 
Bagaimana upaya puskesmas untuk menyiasati ketiadaan supervisi?
Dari sisi manajemen kegiatan monitoring dan evaluasi menjadi suatu keharusan untuk menjamin praktik MTBS tetap berlangsung. Kegiatan berupa supervisi, monitoring maupun evaluasi dilakukan di tingkat puskesmas dengan beragam variasi. Dari hasil wawancara dan DKT terungkap kepala puskesmas yang sekaligus fasilitator menjadi inisiator dalam praktik MTBS. Secara berkala kepala puskesmas melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan MTBS baik itu mengecek peralatan, mengecek kepatuhan menjalankan pemeriksaan sesuai bagan MTBS serta mengevaluasi kinerja pada akhir tahun. Beberapa petikan wawancara dan DKT menunjukkan kegiatan tersebut 
Ee. .. begitu pula dari dinas pun tidak ada dalam bentuk insentif, akan tetapi untuk maintenancenya kami dalam rapat bulanan .. lokakarya.. itu memang ada suatu evaluasi dari MTBS . Oleh karena dia tidak bersifat spesifik MTBS sebenarnya yang kami evaluasi adalah kaitannya dengan kasus pneumoninya ..kemudian juga kasus-kasus kunjungan laporan kunjungan neonatus pada KIA. Jadi secara gamblangnya bahwa program pelaksanaan MTBS di puskes kami hanya berdasarkan ee.. apa ya... artinya memang itu suatu program yang harus dilaksanakan .

mereka memang suka bekerja itu dalam sesuatu yang simpel gitu lho apakah mereka menganggap MTBS ini kurang simpel sehingga kadang-kadang saya mencek di formulir itu ada yang tidak lengkap. Jadi saya terutama di kolom belakang itu yang ee..eee... masalah kelengkapan imunisasi terutama untuk yang masalah gizi mereka kurang mengisi.

jadi kita melihat dari situ ee..resep yang masuk disesuaikan dengan klasifikasi yang ada di MTBS nah itu apakah itu sesuai nggak klasifikasi dengan ..penerapan pengobatan yang ada di MTBS , kemudian kita kadang juga crosschek di lapangan secara tiba-tiba di lihat di register kemudian juga kita pendampingan pelaksanaan di lapangan apakah memang dilaksanakan sesuai dengan ee..yang dilatih untuk mereka gitu ya..jadi apakah ditanyakan semuanya atau kemudian ee...konselingnya bagaimana, kemudian sampe ke pojok oralitnya apa dilakukan apa nggak.

untuk mereka yang supaya mereka patuh dengan standarnya ya kita sering-sering turun..terlibat bersama mereka nggih ee..kita sambil mengingat-ngingat lagi gimana sih yang benernya di pelaksanaan MTBS juga selain kita menjadi konsulen mereka, kita juga ikut turun sambil memberi contoh sebetulnya. Seperti ini lho harusnya kita melaksanakan MTBS dan sewaktu-waktu perlu kita ..apa ya..sidak ee. Kita amati pelaksanaannya mereka kemudian kalau memang ada ..yang tidak sesuai dengan pedoman yang sudah ada ya kita langsung beri..apa ya kita arahkan kembali gitu.. bukan kita tegur yang keras gitu ndak tapi kita panggil mereka , kita ajak omong-omongan , terus ini lho sebetulnya kamu harusnya melakukan ini , kenapa kemarin kamu nggak melakukan ini.

Biasanya kami dalam rapat sebulan sekali itu membawa itu hasil laporan MTBM MTBS dibawa ke bidan koordinator lalu koordinator memberikan ke kepala puskesmas. Biasanya ke desa-desa ya jaranglah..biasanya setiap bidan saja yang suruh ke puskesmas membawa itu tiap bulan. Ada MTBM itu pasti tiap bulan kalau ada pertolongan persalinan. Kalau MTBS ya mungkin yang ada masalah mungkin. Dalam setahun MTBS-nya 6 kali. 

Jadi mau kadak mau MTBS dan MTBMnya pasti kebawa semuanya dan akhirnya begitu kita refleksi di KIA ternyata mereka ada kekurangan-kekurangan langsung kita bawa ke kepala puskesmas bersamaan dengan bidannya dimana letak kekurangannya.

Untuk puskesmas kita kan pemantauannya ya monitoringnya hampir setiap saat , kemudian pada akhir tahun kita sebelum pembuatan laporan pembuatan laporan tahunan biasanya kita kumpulkan dengan program yang lain sambil kita bahas kendala-kendala di lapangan itu apa sambil kita tambahin yang memang ada fasilitas yang perlu ditambahi.



Kelemahan apa saja yang terdapat pada supervisi yang dilakukan Dinkes, dan apa akibatnya?

Penelitian ini mendapatkan tiadanya supervisi khusus untuk MTBS. Supervisi yang ada hanya sebatas mengikuti pelatihan yang telah diadakan sebelumnya, yaitu evaluasi paska pelatihan. Keterbatasan waktu supervisi, frekuensi yang minim, pelaku supervisi diisi oleh orang yang tidak tepat, ketidaksiapan melakukan supervisi menjadi penyebab pelaksanaan supervisi tidak berjalan dengan baik. Akibatnya interaksi supervisor dengan petugas kurang, masalah-masalah yang ditemukan menjadi minim, umpan balik yang diberikan pun menjadi tidak tepat. Supervisi yang dilaksanakan bersamaan program lain menimbulkan ketidakjelasan serta tidak ada informasi tindak lanjut. Kelemahan dalam supervisi akan mempengaruhi penampilan petugas kesehatan dalam praktik MTBS. Hal ini menyebabkan tujuan supervisi untuk kemajuan program, mengatasi kesulitan di lapangan, membangkitkan motivasi serta merangsang petugas untuk bekerja lebih baik lagi menjadi jauh dari harapan(18).

PENUTUP
Kesimpulan dan Saran: 
Penelitian ini membuktikan bahwa puskesmas memiliki semangat untuk mengimplementasi program inovasi. Yang baru mereka bisa kerjakan adalah membuat contoh case management dari sisi ruangan, alur pelayanan, serta pencatatan dan laporan. Dinas Kesehatan baru mampu mengembangkan program MTBS sebatas penyelenggaraan pelatihan dan mendorong puskesmas untuk memulai. Ini pun dilakukan sebatas meneruskan program dari pusat dan WHO. Fungsi case manager ini didukung oleh manajemen puskesmas. Pengembangan program ini di tingkat puskesmas menuntut adanya otonomi puskesmas yang lebih luas sehingga mereka dapat mencari strategi dari lapangan yang bisa cocok dengan kebutuhan pemecahan masalah dalam implementasinya. 









DAFTAR PUSTAKA
1. Statistic Indonesia(2007) Sensus Penduduk 2000: Angka Kematian Bayi (AKB) menurut Propinsi, Kabupaten Kota, dan Jenis Kelamin. Jakarta, Available from < http://www.Statistic Indonesia. com.> (Accesed 03 April 2007)
2. Dinkes Kab. Tanah Laut, (2007) Profil Kesehatan Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006 . Pelaihari .
3. Gove S. (1997) Integrated Management of Childhood Illness by Outpatient Health Providers: Technical Basics and Overview. Bulletin of World Health Organization . Vol 75 Supp 1 pp 7-16. Available from < http://www.who.int> (Accesed 10 April 2007)
4. Lambrecht, T., Bryce, J.& Orinda, V. (1999) Integrated Management Child Illness : a Summary of First Experiences (Internet) pp 582-594 Available from Accessed 16 April 2007
5. Dinkes Kab. Tanah Laut, (2003) Bahan Evaluasi Program P2-ISPA dan MTBS . Pelaihari
6. Dinkes Kab. Tanah Laut, (2003) Laporan Penerapan MTBS tahun 2007, Pelaihari
7. Yin, KR. (2006) Studi Kasus, Desain & Metode, Penerbit Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 
8. FKM-UI, (2000) Aplikasi Metode Kualitatif dalam Penelitian Kesehatan, Depok.
9. Lartson, RA., Ebrahim, G.J., Lovel, G.J.& Ranken, J.P., (1987) District Health Care: Challenge for Planning, Organisation and Evaluation in Developing Countries, London: Macmilan Education Ltd
10. WHO and UNICEF. (2003) IMCI Adaptation Guide, Geneva. Available from < http://www.who.int.> (Accessed 12 Oktober 2006)
11. Pan American Health Organization, About Integrated Management of Childhiid Illnes (IMCI). Available from < http://www.paho.com.> (Accessed 20 September 2007)
12. Champoux, JE. (2003) Organizational Behaviour: Essential Tenets , Thomson Learning, Canada.
13. Koteen, J (1997) Strategic Management in Public & Non Profit Organization, Second Edition: Praeger
14. Management Sciences for Health. (2006) Clinic Supervisor’s Manual Cambridge, USA. Data available from < http://www.msh.com.> (Accessed 12 April 2007)
15. Grensing, L. (1986) Memotivasi tanpa Uang-lebih Mudah dari yang Diduga dalam Timpe, A D. Memotivasi Pegawai. Jakarta:PT Elex Media Komputindo hal 79-83.
16. Steers, RM., Porter, LW. And Bigley, GA. (1996) Motivation and Leadership at Work. Mc Graw Hill Sixt 
17. WHO. Department Of Child and Adolescent Health ang Development (2004), Progress Report May 2002-April 2003 p 4(Internet) Available from Accesed 20 April 2007
18. Flahault, D., Piot, M., and Franklin, A. (1988) The Supervision of Health Personnel at District Level. World Health Organization, Geneva.

http://haripratono.blogspot.com/

0 komentar: